MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KELAS XII AK 4
OLEH :
1. SURIAMI
2. UVI
MAUIDHLOTUL LATIFAH
3. WAHYU
DIAN RAHMATIKA
4. WAHYU
SEKTI WIJAYA
5. YESYSCA
APRILIA
SMK ANTARTIKA 2 SIDOARJO
JL. SIWALANPANJI BUDURAN SIDOARJO
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas akhir sekolah kami yang
berupa makalah. Mekalah ini kami beri judul “PERS INDONESIA”. Terima kasih pula
kepada ibu Dra.Asnifa Hidayati M.Mpd.
selaku guru pembimbing Pendidikan kewarganegaraan kami yang telah membimbing
kami, sehingga kami dapat menyusun makalh ini dengan baik. Salam hangat dan
salam semangat bagi teman-teman penyusun makalah ini. Berkat kerja kerasnya
selama ini sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.
Terima kasih pula kepada para sumber yang telah menuliskan materi Pers ini
secara gamblang dan jelas. Sehingga kami dapat dengan mudah menyusun makalah
ini. Walaupun mungkin para sumber tidak dapat membaca hasil kerja keras kami,
tapi sangat bertema kasih atas bantuannya.
Kami selaku
tim penyusun sangat berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
khususnya kami yang telah menyusunnya. Selain itu, kami juga berharap dengan
adanya makalah ini dapat menjadi bukti keseriusan kami dalam mengerjakan tugas
akhir yang telah diberikan kepada kami.
Atas segala hormat, Terima kasih.
Sidoarjo, Januari 2015
Tim
penyusun
DAFTAR ISI
·
Kata Pengantar
·
Daftar Isi
·
Bab I Pendahuluan
o
1.1 Latar Belakang
o
1.2 Rumusan Masalah
o
1.3 Tujuan Penulisan
·
Bab II Pembahasan
o
A. Pengertian, fungsi, manfaat serta karakteristik pers
o
B. Sejarah Pers di Indonesia
o
C. Dasar Hukum Pers di Indonesia
o
D. Peranan Pers di Indonesia
o
E. Sistem pers di Indonesia
o
F. Kode Etik Pers
o
G.Organisasi Pers di Indonesia
o
H.Dampak Pers
o
I. Teori Pers
·
Bab III Penutup
o
A. Kesimpulan
o
B. Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Peranan Pers dalam masyarakat demokrasi,
pers adalah salah satu sarana warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dan
pendapat serta satu sarana penting dalam Negara demokrasi, layaknya Negara kita
Indonesia. Pada berbagai aspek kehidupan di Negara ini, masyarakat memiliki hak
untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara. Sesuai UUD
1945 Ps. 28 yang menerangkan bahwa setiap warga Negara berhak mengeluarkan
pikiran dan pendapatnya, sehingga pers pun memiliki hak yang sama dengan
landasan hokum UUD Ps.28 tersebut.
Tata cara mengungkapkan pendabat sebagai
Pers juga sudah diatur dalam kode etik Pers atau pun kode etik Jurnalistik.
Dalam penyampaian pendapatya pers menggunakan beberapa media. Salah satunya
adalah media cetak. Tak hanya media cetak saja melankan media yang lain yakni
media Elektronik. Pers juga memiliki organisasi yang menaunginya. Itu berarti
bahwa keberadaan pers di Indonesia sangat perlu dan sudah diatur.
Keberadaan pers di Indonesia ini memberikan
manfaat, dampak, dan pengruh bagi masyarakat maupun kalangan pejabat. Sehingga
dalam kesempatan ini kami ingin mengulas lebih dalam lagi apa fungsi, manfaat,
peranan serta dampak Pers bagi kehidupan bermasyarkat. Tak hanya itu kami juga
ingin mengulas lebih dalam lagi bagaimana pers di Indonesia ii dapat terbentuk
serta apasajakah organisasi pers yang ada di Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa
fungsi, manfaat, serta karakteristik dari pers ?
2. Bagaimanakah
sejarah pers di Indonesia ?
3. Apa
dasar hukum yang melandasi pers di Indonesia ?
4. Bagaimana
peranan pers di Indonesia ?
5. Bagaimana
sistem pers di Indonesia ?
6. Apa
sajakah organisasi pers di Indonesia ?
7. Apa
saja wahana komunikasi massa ?
8. Bagaimana
teori pers di Indonesia ?
9. Bagaimana
dampak yang ditimbulkan oleh pers di Indonesia ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Menjabarkan
pengertian, fungsi, manfaat, serta karakteristik pers di Indonesia.
2. Menjelaskan
sejarah pers di Indonesia.
3. Menjabarkan
dasar hukum yang melandasi pers di Indonesia.
4. Menjelaskan
peranan pers di Indonesia.
5. Menjelaskan
sistem pers di Indonesia.
6. Menjabarkan
organisasi pers yang ada di Indonesia.
7. Menjabarkan
wahana komunikasi massa.
8. Menjabarkan
teori pers di Indonesia.
9. Menjelaskan
dampak yang ditimbulkan oleh pers di Indonesia.
A.
PENGERTIAN,
FUNGSI, MANFAAT SERTA KARAKTERISTIK PERS
a. Pengertian Pers
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah Usaha percetakan dan penerbitan; Usaha pengumpulan
dan penyiaran berita; penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio;
orang yang bergerak dalam penyiaran berita; medium berita, seperti surat kabar,
majalah, radio, televisi, dan film.
Pers adalah proses pengumpulan, evaluasi, dan
distribusi berita kepada publik. Di dalam pers atau jurnalis para wartawan menulis
berita untuk di sebar luaskan kepada masyarakat atau publik. Wartawan ialah
karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan seperti yang dimaksudkan dalam
ayat 3 pasal ini secara kontinu.
Kewartawanan
ialah pekerjaan/kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan,
pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar
dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio televisi dan film
Perusahaan Pers ialah perusahaan surat-khabar
harian,penerbitan berkala, kantor berita, bulletin dan lain-lain seperti yang
tersebut ayat 6, 7 dan 8 dalam pasal ini.
Kantor
Berita adalah pusat pengumpulan dan penyebaran berita bahan-bahan informasi dan
karangan-karangan guna melayani harian, penerbitan berkala, siaran-siaran
radio, televisi, instansi-instansi Pemerintah, badan umum dan swasta lainnya
yang usahanya meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia dalam
tata-pergaulan dunia
Organisasi Pers ialah organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers yang disahkan oleh Pemerintah. Sebelumnya, makna
pers diartikan dalam arti sempit yakni hanya dalam media cetak. Namun, kini
pers dimaknai dalam arti yang luas tidak hanya dalam media cetak namun juga
media lain seperti media elektronik.
. Sehingga dapat diartikan bahwa pers
adalah sebuah organisasi yang mencetak sebuah berita yang akan disebar luaskan
pada media tidak hanya melalui madia cetak tapi juga media lain seperti
elektronik.
b. Fungsi
Pers
Pers memiliki beberapa fungsi di antaranya ialah
:
v Pers
sebagai Media Informasi
Media
informasi merupakan bagian dari fungsi pers dari dimensi idealisme. Informasi
yang disajikan pers merupakan berita-berita yang telah diseleksi dari berbagai
berita yang masuk ke meja redaksi, dari berbagai sumber yang dikumpulkan oleh
para reporter di lapangan. Menurut Pembinaan Idiil Pers, pers mengemban fungsi
positif dalam mendukung mendukung kemajuan masyarakat, mempunyai tanggung jawab
menyebarluaskan informasi tentang kemajuan dan keberhasilan pembangunan kepada
masyarakat pembacanya. Dengan demikian, diharapkan para pembaca pers akan
tergugah dalam kemajuan dan keberhasilan itu.
v Pers
sebagai Media Pendidikan
Dalam
Pembinaan Idiil Pers disebutkan bahwa pers harus dapat membantu pembinaan
swadaya, merangsang prakarsa sehingga pelaksanaan demokrasi Pancasila,
peningkatan kehidupan spiritual dan kehidupan material benar-benar dapat
terwujud. Untuk memberikan informasi yang mendidik itu, pers harus
menyeimbangkan arus informasi, menyampaikan fakta di lapangan secara objektif
dan selektif. Objektif artinya fakta disampaikan apa adanya tanpa dirubah
sedikit pun oleh wartawan dan selektif maksudnya hanya berita yang layak dan
pantas saja yang disampaikan. Ada hal-hal yang tidak layak diekspose ke
masyarakat luas.
v Pers
sebagai Media Entertainment
Dalam
UU No. 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1disebutkan bahwa salah satu fungsi pers
adalah sebagai hiburan. Hiburan yang diberikan pers semestinya tidak keluar
dari koridor-koridor yang boleh dan tidak boleh dilampaui. Hiburan yang
sifatnya mendidik atau netral jelas diperbolehkan tetapi yang melanggar
nilai-nilai agama, moralitas, hak asasi seseorang, atau peraturan tidak
diperbolehkan. Hiburan yang diberikan pers kepada masyarakat yang dapat
mendatangkan dampak negatif, terutama apabila hiburan itu mengandung
unsur-unsur terlarang seperti pornografi dan sebagainya seharusnya dihindari.
v Pers
sebagai Media Kontrol Sosial
Maksudnya
pers sebagai alat kontrol sosial adalah pers memaparkan peristiwa yang buruk,
keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa
itu tidak terulang lagi dan kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan
semakin tinggi. Makanya, pers sebagai alat kontrol sosial bisa disebut
“penyampai berita buruk”.
v Pers
sebagai Lembaga Ekonomi
Beberapa
pendapat mengatakan bahwa sebagian besar surat kabar dan majalah di Indonesia
memperlakukan pembacanya sebagai pangsa pasar dan menjadikan berita sebagai
komoditas untuk menarik pangsa pasar itu. Perlakuan ini menjadikan keuntungan
materi sebagai tujuan akhir pers. Konsekuensinya, pers senantiasa berusaha
menyajikan berita yang disenangi pembaca.
Selain
fungsi pers yang ada di atas, pers juga berfungsi sebagai “watchdog” atau mata dan telinga, pemberi isyarat, pemberi tanda –
tanda dini, pembentuk opini, dan pengarah agenda ke depan.
c.
Manfaat
Pers
Ada 8 manfaat pers pers
bagi masyarakat Indonesia, yaitu:
·
Pers
menjadi penyalur aspirasi rakyat
·
Pers
bebas mencari atau mendapatkan kebenaran sehingga dapat mewujudkan
keadilan.
·
Pers
menjadi kontrol sosial yang bebas memberikan kritik, saran, dan pengawasan
·
Pers
menjadi penyebar informasi yang dapat memenuhi hak masyarakat
·
Pers
menjadi wahana komunikasi massa
·
Pers
menjadi penghubung antarsesama manusia
d.
Karakteristik Pers
§ Periodesitas => Pers harus terbit
secara teratur, periodik.
§ Publisitas => Pers ditujukan
kepada khalayak umum yang sangat heterogen
§ Aktualitas => Informasi yang disuguhkan harus mengandung unsur
kebaruan, menunjuk kepada peristiwa yang benar-benar baru terjadi atau sedang
terjadi.
§ Universalitas => Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumber
berbagai peristiwa yang dilaporkan pers berasal dari 4 penjuru mata angin. Dari
barat, utara, timur dan selatan.
§
Objektifitas => Nilai
etika dan norma yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan
profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya
dan menarik perhatian pembaca, tidak mengganggu perasaan dan pendapat mereka.
kebenaran isi berita yang disampaikan tidak menimbulkan tanda tanya
A. SEJARAH PERS DI INDONESIA
Dalam sejarah
mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot
bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air
yang berjuang untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan, wartawan
bahkan menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang
melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan
kesadaran nasional dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara
langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan, Kedua
peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa
dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis
pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan
wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam
upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Aspirasi
perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang
berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelahiran PWI di tengah kancah perjuangan
mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan,
melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan
semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta integritas
bangsa dan negara.
Sejarah lahirnya
surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari
sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman
revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers
sebagai alat perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada
tanggal 8 Juni 1946 tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional,
untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Kepentingan
untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa barisan
penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya,
mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha
mempertahankan pengaruhnya.
Sebenarnya SPS
telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat bulan
sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari
1946. Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai
“kembar siam”. Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10
Februari itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Yang datang
beragam wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar,
majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan. Pertemuan besar yang pertama
itu memutuskan:
a. Disetujui
membentuk organisasi wartawan Indonesia
dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris
Sudarjo Tjokrosisworo.
b. Disetujui
membentuk sebuah komisi beranggotakan
1. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
2. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
3. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
4. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
5. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
6. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
7. Sudjono (Berdjuang, Malang), dan
8. Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat,Yogyakarta).
26 tahun
kemudian menyusul lahir Serikat Grafika Pers (SGP), antara lain karena
pengalaman pers nasional menghadapi kesulitan di bidang percetakan pada
pertengahan tahun 1960-an. Kesulitan tersebut meningkat sekitar tahun 1965
sampai 1968 berhubung makin merosotnya peralatan cetak di dalam negeri,
sementara di luar Indonesia sudah digunakan teknologi grafika mutakhir, yaitu
sistem cetak offset menggantikan sistem cetak letter-press atau proses
‘timah panas’. Mesin-mesin dan peralatan cetak letter-press yang sudah tua, matrys
dengan huruf-huruf yang campur-aduk, teknik klise yang tidak lagi mampu
menghasilkan gambar-gambar yang baik, semuanya menambah suramnya kehidupan pers
nasional. Oleh karena itu, tergeraklah keinginan untuk meminta pemerintah ikut
mengatasi kesulitan tersebut. Pada bulan Januari 1968 sebuah nota permohonan,
yang mendapat dukungan SPS dan PWI, dilayangkan kepada Presiden Soeharto waktu
itu, agar pemerintah turut membantu memperbaiki keadaan pers nasional, terutama
dalam mengatasi pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers.
Undang-undang
penanaman modal dalam negeri yang menyediakan fasilitas keringanan pajak dan
bea masuk serta dimasukkannya grafika pers dalam skala prioritas telah memacu
berdirinya usaha-usaha percetakan baru. Menyusul
berbagai kegiatan persiapan, akhirnya berlangsung Seminar Grafika Pers Nasional
ke-1 pada bulan Maret 1974 di Jakarta. Keinginan untuk membentuk wadah grafika
pers SGP terwujud pada 13 April 1974. Kelahiran SGP dikukuhkan dalam
kongres pertamanya di Jakarta, 4-6 Juli 1974. Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (P3I) ditetapkan sebagai anggota organisasi pers nasional berdasarkan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers. Bidang
periklanan sebelumnya diwadahi oleh Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI)
yang berdiri sejak September 1949 dan didominasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda. Pada tahun 1953 di Jakarta dibentuk organisasi saingan bernama Serikat
Biro Reklame Nasional (SBRN). Setahun kemudian keduanya bergabung dengan
nama PBRI.
Tahun 1956 Muhammad
Napis menggantikan F. Berkhout sebagai ketua. Bulan Desember 1972 rapat anggota
PBRI memilih A.M. Chandra sebagai ketua baru menggantikan Napis dan bersamaan
dengan itu nama organisasi diubah menjadi Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia. Berdasarkan UU pers tahun 1982, organisasi periklanan dinyatakan
sebagai komponen keluarga pers nasional. Juga ditetapkan bahwa bidang usaha
(aspek komersial) periklanan berada di bawah pembinaan Departemen Perdagangan
& Koperasi sedangkan bidang operasionalnya (aspek idiilnya) ditempatkan
dalam pembinaan Departemen Penerangan.
Mengingat
sejarah pers nasional sebagai pers perjuangan dan pers pembangunan, maka
tepatlah keputusan Presiden Soeharto tanggal 23 Januari 1985 untuk menetapkan
tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional.
SEBELUM
PROKLAMASI
Surat kabar atau
majalah adalah sarana komunikasi yang utama untuk memantapkan kebangkitan
nasional dalam rangka mencapai cita-cita perjuangan. Karena itu, dalam jangka
waktu yang relatif pendek, di awal tahun 1920, telah tercatat sebanyak 400
penerbitan dalam berbagai corak di banyak kota di seluruh Indonesia. Pada
bulan Juli 1909, di Jakarta diterbitkan mingguan Boemipoetera yang dipimpin
Sutan Mohammad Salim. Inilah salah satu penerbitan pertama yang menampilkan
wajah dan warna nasional Indonesia, di depan mata penjajah. Di Medan pada tahun
1910 telah terbit surat kabar nasional bernama Pewarta Deli, dipimpin Dja Endar
Muda, yang sebelumnya adalah pemimpin redaksi Pertja Barat di Padang pada tahun
1903. Pewarta Deli diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan pribumi bernama
Sjarikat Tapanuli di kota Medan. Juga di Medan, pada bulan November 1916,
terbit koran pertama yang memakai kata “merdeka”, yakni Benih Merdeka, di bawah
pemimpin redaksi Mohamad Samin, tokoh Sarekat Islam di kota itu. Direktur surat
kabar tersebut adalah T. Radja Sabaruddin, ketua Sarekat Islam Cabang Medan. Benih
Merdeka memakai semboyan “Organ oentoek menoentoet keadilan dan kemerdekaan.”. Parada
Harahap pernah menerbitkan koran di kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara
bagian selatan., bernama Sinar Merdeka, dan pada tahun 1918 menjadi pemimpin
redaksi majalah karyawan/pegawai perkebunan bernama De Cranie.
Pada tahun
1920-an, jumlah surat kabar meningkat pesat. Di kota Bandung terbit Sora
Mardika (1920), Sipatahoenan (1923), dan Soeara Ra’jat Mardika (1931).
Penerbitan lain di Medan adalah Matahari Indonesia dengan redaktur Iwa
Kusumasumantri pada tahun 1928 (tahun 1945 diangkat menjadi menteri
sosial RI, 1953 menjadi menteri pertahanan) dan Sinar Deli di bawah pimpinan
Mangaradja Ihutan serta Hasanul Arifin, dengan dibantu wartawan B.M. Diah, Ani
Idrus, dan lain-lain. Hamka dan M. Yunan Nasution mengasuh Pedoman
Masjarakat yang semula dipimpin H. Asbiran Ya’kub (1935). Sebelumnya telah terbit
majalah Pandji Islam (1934) dengan pemimpin redaksi Zainal Abidin Ahmad. Di Banjarmasin terbit antara lain surat kabar Soeara
Kalimantan (1930), pertama kali nama “Kalimantan” digunakan untuk surat kabar.
Pemimpin redaksinya adalah Adnan Abdul Hamidhan.
WADAH PERSATUAN WARTAWAN
Seperti
masyarakat pergerakan politik lainnya, para wartawan tidak ketinggalan
membentuk perkumpulan sendiri sebagai wadah persatuan dan advokasi pers
nasional. Organisasi wartawan Indonesia pertama didirikan bagi kepentingan perjuangan
dan profesi adalah Inlandsche Joernalisten Bond (IJB). Dasar dan tujuan IJB
yang dibentuk tahun 1924. Perintisnya adalah pemimpin redaksi berkala Sarotomo,
yang terbit di kota Surakarta dan tokoh Sarekat Islam bernama Sumarko
Kartodikromo. Pada tahun 1919, bertempat di Gedung Boedi Oetomo Medan, IJB
diubah menjadi Inlandsche & Chinesche Journalisten Bond dengan ketua
Mohammad Joenoes dan sekretaris Parada Harahap.
Di Semarang, pada tahun 1931, berdiri Persatoean Kaoem Journalis.
Pengurusnya adalah Saerun sebagai ketua, Wigjadisastera (dari kantor berita Het
Indonesische Pers Agentschaap, Bogor) sebagai wakil ketua. Pada akhir Desember
1933, bertepatan dengan rencana penyelenggaraan Kongres Indonesia Raja kedua,
yang ternyata dilarang oleh polisi kolonial, di Surakarta sejumlah wartawan
Indonesia mengadakan rapat untuk membentuk Persatoean Djoernalis Indonesia
(PERDI). Sejak itu hingga masa pendudukan militer Jepang, PERDI sempat
mengadakan kongres di Bandung, Jakarta dan Kaliurang/Yogyakarta. Berdirinya
PERDI dengan azas perjuangannya tersebut menunjukkan bahwa wartawan Indonesia
tidak mundur terhadap usaha pengekangan oleh pihak penjajah.
PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Jepang,
sekutu negara-negara Axis pimpinan Jerman dalam Perang Dunia II, melancarkan
pendudukan militer atas Indonesia sejak 1942. Pada masa pendudukan Jepang
tersebut dunia pers Indonesia dikendalikan berdasarkan Undang-undang Pemerintah
(Osamu Seiri) No. 16 tentang “Pengawasan Badan-Badan Pengumuman dan Penerangan
dan Penilikan Pengumuman dan Penerangan.” Pada kenyataannya, peraturan militer
Jepang tersebut mematikan koran-koran pergerakan atau mengubahnya dengan nama
lain dan diawasi secara ketat oleh polisi militer Jepang. Jepang menerbitkan
koran-koran seperti Soeara Asia (eks Soeara Oemoem, Surabaya), Tjahaja
(gabungan beberapa koran seperti Sipatahoenan, Kaoem Moeda, dan lain-lain di
Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baru (Semarang), Asia Raja
(Jakarta) yang dipimpin Sukardjo Wirjopranoto (menteri negara RI 1945) dan R.M.
Winarno.
Jepang memberangus koran-koran di Jakarta dan menerbitkan
koran-koran baru seperti Pemandangan dan Pembangoen. Kantor berita Antara
menjadi Yashima, berikutnya digabung dengan Domei, tetapi kemudian oleh Adam
Malik (menteri koordinator perekonomian RI 1963, wakil perdana menteri 1966,
menteri luar negeri 1967, ketua MPR/DPR 1977, wakil presiden 1978) diganti
menjadi Domei bagian Indonesia. Tentara pendudukan Jepang menjalankan
kekuasaannya secara fasis, antara lain dengan membubarkan atau mengubah
organisasi-organisasi yang ada serta menangkap atau membunuh tokoh-tokoh
pergerakan yang melawan. Di bidang pers, selain koran-koran yang diizinkan
Jepang, kaum pergerakan membuat siaran-siaran illegal. Tetapi,
wartawan–wartawan Indonesia yang dicurigai atau dituduh melakukan gerakan bawah
tanah langsung ditangkap tentara Jepang atau dibunuh.
PERS
NASIONAL SEJAK PROKLAMASI
Tepat tanggal 17
Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh Sukarno-Hatta
dari rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya, pihak
Sekutu (pasukan Inggris, Amerika, Australia dan Belanda) telah menyiapkan diri
untuk memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang dan
langsung memulihkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Guna melincinkan
jalan bagi kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu lebih dulu memerintahkan
pasukan Jepang untuk mempertahankan status quo, atau dengan kata lain menolak
proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Akibat
keputusan Sekutu tersebut, terjadi bentrokan fisik besar dan kecil antara
Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.
Dengan
latar belakang ini, tugas wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut
berjuang mempertahankan Proklamasi. Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945, wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers
semasa pendudukan militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan
penerangan mendukung Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar
dan percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang. Surat kabar Indonesia pertama
yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia (6 September).
PWI DAN SPS
DIDIRIKAN
Pada
9 Februari 1946, sewaktu pasukan Inggris dan Belanda sedang meningkatkan
operasi pendaratan dan pendudukan di berbagai daerah republik, serta terus
meningkatkan strategi pengekangannya, wartawan-wartawan Republiken mengadakan
kongres pertamanya di Surakarta untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI). Pada pertemuan mendirikan PWI itu, selain wartawan dari daerah
republik, juga hadir wartawan-wartawan yang berhasil lolos dari daerah-daerah
pendudukan dan dari incaran serdadu Sekutu/Belanda.
Pada masa perang
kemerdekaan sejak deklarasi kemerdekaan sampai saat berlangsungnya perundingan
KMB, para tokoh PWI berhasil melangsungkan tiga kali kongres. Kongres
pertama di Surakarta, 9-10 Februari 1946, menghasilkan pengurus yang diketuai
Mr. Sumanang. Kongres kedua di kota Malang, 23-24 Februari 1947, menetapkan
pengurus baru terdiri Usmar Ismail sebagai ketua. Pada kongres ketiga di
Yogyakarta, 7-9 Desember 1949, Djawoto terpilih kembali sebagai ketua.
Pada kongres PWI
pertama di Surakarta, para wartawan pergerakan sudah memikirkan pentingnya
upaya di bidang pengusahaan pers demi kelangsungan hidup pers sebagai alat
perjuangan dan pembangunan bangsa. Mengingat kepentingan inilah peserta kongres
sepakat untuk membentuk panitia berjumlah 10 orang. Dibentuknya panitia
tersebut mendorong lahirnya Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) di
Yogyakarta pada 8 Juni 1946 (namanya kemudian menjadi Serikat Penerbit
Suratkabar). Anggota pengurus SPS pada saat pembentukannya termasuk
wartawan-wartawan pergerakan seperti Sjamsuddin Sutan Makmur, Djamal Ali,
Ronggo Danukusumo dan Sumanang.
PEMBATASAN
KEBEBASAN PERS
Landasan perundang-undangan pers masa Orde Baru adalah Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Pasal 2 Ketetapan MPRS tersebut
mengaitkan kebebasan pers dengan keharusan adanya pertanggung jawaban kepada:
a. Ketuhanan Jang Maha Esa
b. Kepentingan rakjat dan keselamatan negara
c. Kelangsungan dan penyelesaian revolusi hingga
terwujudnya tiga segi kerangka tujuan revolusi (jargon
politik dari era Presiden Sukarno)
d. Moral dan tata susila
e. Kepribadian bangsa.
Ditetapkan pula bahwa “kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan
serta menegakkan kebenaran dan keadilan dan bukan kebebasan dalam pengertian
liberalisme”.
Kemudian, pada 12 Desember 1966, dengan persetujuan DPR, pemerintah
memberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers. Pada tanggal 20 Septemebr 1982, pemerintah bersama DPR menyetujui
undang-undang baru untuk pers, yang lengkapnya berjudul Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967. Perubahan yang dimaksud dalam UU
No.4/1967 adalah pencabutan Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 yang membatasi
kebebasan pers, sehingga dinilai bertentangan dengan UU No.11/1966,
khususnya terhadap ketentuan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan
koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif (Pasal 3) dan bahwa terhadap
pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan (Pasal 4). Berlakunya UU
No.4/1967 dengan maksud menghilangkan ancama pembreidelan persadalah sejalan
dengan tuntutan PWI (lihat Laporan Pengurus Pusat PWI dalam Kongres ke-13 PWI
di Banjarmasin, 17-21 Juni 1968).
LANGKAH
AWAL MENEGAKKAN KEBEBASAN PERS
Mendahului kasus-kasus suram yang menghantui kebebasan pers di masa awal orde
reformasi sejak Soeharto lengser, kalangan pers sendiri secara agresif
menggulirkan kampanye publik untuk menegakkan kebebasan pers. Bahkan beberapa
hari menjelang pergantian presiden, pada tanggal 18 Mei 1998 sejumlah
wartawan dari beberapa kota yang sedang berkumpul di Solo mencetuskan Deklarasi
Wartawan Indonesia Tentang Kemerdekaan Pers mengacu pada Pasal 28 UUD 1945.
Pada 15 Oktober, diskusi wartawan dan akademisi di Jakarta menghasilkan
pernyataan, bahwa kebebasan pers adalah kebebasan dari ancaman, paksaan,
tekanan, dalam bentuk apa pun dan dari pihak mana pun, untuk menyampaikan
informasi.
Secara
kongkrit, MPR didesak mengeluarkan ketetapan yang menjamin kebebasan
pers. Pada 13 November 1998 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Azasi Manusia, yang mencantumkan pasal-pasal mengenai hak
kemerdekaan menyatakan pikiran; kemerdekaan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat; serta hak atas kebebasan informasi, termasuk hak
“mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal 42 Tap MPR
tersebut menegaskan, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tersebut
“dijamin dan dilindungi” serta perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan
hak asasi manusia itu adalah “tanggung jawab Pemerintah”.
Dalam upaya
menegakkan kebebasan pers di awal masa reformasi, patut dicatat peran positif
Presiden Habibie (terlepas kasus pembreidelan Tempo dan somasi terhadap The
Jakarta Post sebelumnya, serta usulnya kemudian untuk menerapkan sistem
lisensi bagi profesi wartawan). Juga perlu
diingat dukungan bulat menteri penerangan Mohamad Yunus, seorang mantan
komandan pasukan tempur. Yunus sempat mendapat pujian dari lembaga Committee To
Protect Journalist yang berpusat di Amerika atas keputusannya mengundang
pengurus Article 19, lembaga anti-sensor non-pemerintah di Inggris, dan Unesco
untuk membantu upaya menyempurnakan perundang-undangan pers.
Komitmen
Yunus untuk menciptakan sistem pers merdeka diakui kalangan internasional. Dan
memang, di masa Yunus inilah, atas persetujuan DPR dan dukungan
masyarakat pers dan penyiaran, pemerintah mengeluarkan Undang-undang RI Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers, 23 September 1999, yang mencabut UU Pers 1966
dan 1982. Dengan UU baru tersebut sistem lisensi atau izin penerbitan pers
dihapus dan Dewan Pers sepenuhnya bebas dari dominasi dan intervensi
pemerintah.
Menjelang akhir November 2000, satu stasiun televisi baru
pimpinan Surya Paloh, bernama Metro, memulai siaran percobaan, sementara empat
stasiun baru lainnya --- Pasaraya, Global, Trans dan Duta ---
direncanakan beroperasi tahun 2001. Mereka menampung banyak tenaga-tenaga
pemula, tetapi juga memicu eksodus wartawan berpengalaman baik dari media
siaran mau pun penerbitan pers yang ada.
Tumbuhnya media komunikasi dan informasi baru --- Internet --- terjadi tepat
saat reformasi digulirkan. Sampai Desember 2000 tercatat lebih 390 situs,
sekitar 90 merupakan majalah web, 30 tergolong portal berita atau informasi.
B. DASAR
HUKUM PERS DI INDONESIA
Landasan Hukum Pers di
Indonesia yakni :
Ø Pada
UUD 1945
Pasal
28 UUD 1945
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28 F UUD 1945
“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Ø
Tap MPR
No. XII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Lebih rincinya lagi terdapat pada Piagam Hak Asasi Manusia,
Bab VI, Pasal 20 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut:
1.
(20)setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2.
(21)setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis sarana yang tersedia.
Ø
Undang
–Undang No. 39 Tahun 2000 pasal 14 ayat 1 dan 2 tentang Hak Asasi Manusia
1.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2.
setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
sarana yang tersedia.
Ø
. Undang-Undang No. 40
Tahun 1999 dalam pasal 2 dan pasal 4 ayat 1 tentang Pers
1.
Pasal
2 berbunyi, Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum.
2.
Pasal
4 ayat 1 berbunyi, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara.
Ø UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1966 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS
Pasal 2.
(1) Pers Nasional adalah alat revolusi dan
merupakan mass-media yang bersifat aktif, dinamis kreatif, edukatif,
informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya
pikiran kritis dan progresip meliputi segala perwujudan kehidupan dan
penghidupan masyarakat Indonesia.
(2) Pers Nasional berkewajiban:
a. mempertahankan, membela, mendukung,
dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen.
b. Memperjuangkan pelaksanaan Amanat
Penderitaan Rakyat, berlandaskan Demokrasi Pancasila.
c.
memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers.
d. membina
persatuan dan kekuatan-kekuatan prograsif revolusioner dalam perjuangan menentang
imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme, liberalisme,
komunisme, dan fasisme/diktatur.
e. menjadi
penyalur pendapat umum yang konstruktif dan prograsif revolusioner.
Pasal 3.
Pers
mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan
konstruktif.
Pasal 4.
Terhadap
Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan.
Pasal 5.
(1)
Kebebasan Pers sesuai dengan hak azasi warga negara di jamin.
(2)
Kebebasan Pers ini didasarkan atas tanggung jawab nasional dan pelaksanaan
pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini.
C. PERANAN
PERS DI INDONESIA
Ø Memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
Ø Menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebinekaan.
Ø Mengembangkan
pendapat umum berdasarkan inforamasi tapat, akurat, dan benar.
Ø Melakukan
pengawasan, kritik koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum.
Ø
Memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
D.
SISTEM
PERS DI INDONESIA
1. Sistem Pers Otoriter
Lahir pada abad ke-15 sampai 16.
Pengertian: Sistem pers dimana sistem yang dikuasai oleh
pemerintahan.
Kelebihannya adalah konflik dalam masyarakat cenderung
berkurang.
Kekurangannya adalah tertutupnya kesempatan untuk berkreasi.
2.
Sistem Pers Liberal
Lahir pada abad 17 s/d 18.
Fungsi utama: menjaga hak warga negara agar tidak tertindas
oleh kesewenangan.
Kelemahannya adalah disalahgunakan dengan cara menayangkan/
menerbitkan.
Kelebihannya
adalah kebebasan untuk berinformasi.
3.
Sistem Pers Soviet Komunis
Lahir pada abad ke 20.
Pengertian : sistem pers yang media
massa dilarang melakukan kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan
dari taktik-taktik partai.
Kelebihannya adalah pers terkontrol penuh oleh pemerintah.
Kekurangannya adalah pers tidak dapat bergerak secara
leluasa.
4.
Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial
Lahir pada abad ke-20.
Pengertian: merupakan suatu teori yang mempunyai asumsi utama bahwa kebebasan
memliki nilai yang sepadan dengan tanggung jawab atas kebebasan tersebut
Kekurangannya adalah terkadang
lembaga yang mengontrol pers dijadikan kedok penguasa untuk mengontrol media.
Kelebihannya adalah masyarakat dapat mendapat informasi yang
dibutuhkan dan mengontrol media.
5.
Sistem Pers Pancasila
Asumsi utama pers ini adalah bahwa kebebasan mengandung di
dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan.
Kebebasan pers ini baru di dapat pada era B.J Habibie
setelah 32 tahun setelah Orde Baru.
E. KODE
ETIK PERS
KODE ETIK Aliansi Jurnalistik Independent (AJI)
1.
Jurnalis menghormati hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar.
2.
Jurnalis senantiasa mempertahankan
prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan
serta kritik dan komentar.
3.
Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang
kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4.
Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat
yang jelas sumbernya.
5.
Jurnalis tidak menyembunyikan informasi
yang penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.
Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis
untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen
7.
Jurnalis menghormati hak nara sumber
untuk memberi informasi latar belakang, off
the record, dan embargo.
8.
Jurnalis segera meralat setiap
pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9.
Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi
konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di
bawah umur.
10. Jurnalis
menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam
masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan
politik, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa
merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar
kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan
seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang
dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
Catatan: Yang dimaksud
dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan fasilitas
lainnya, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis
dalam membuat kerja jurnalistik.
Jurnalis
tidak dibiarkan menjiplak.
15. Jurnalis
menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
16. Jurnalis
menghindari setiap campurtangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan
prinsip-prinsip di atas.
17. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan
diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
KODE
ETIK Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Kemerdekaan pers merupakan
sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari
adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman masyarakat. Guna menjamin
tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan suatu
landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam
menegakkan integritas dan professionalitas wartawan. Atas dasar itu, wartawan
Indonesia menetapkan Kode Etik:
1.Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi
yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan
menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan
fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta
tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah,
sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahkan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan
meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini sepenuhnya
diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh Organisasi yang dibentuk
untuk itu.
F.
ORGANISASI PERS
Persatuan
Wartawan Indonesia
Persatuan
Wartawan Indonesia yang biasa disingkat PWI adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Sebagai organisasi profesi, PWI didirikan pada 9 Februari 1946 di Solo. Munculnya PWI diwarnai aspirasi perjuangan para
pejuang kemerdekaan, baik mereka yang ada di era 1908, 1928 maupun klimaksnya 1945.
Sebelum lahirnya PWI
dibentuk sebuah panitia persiapan pada awal Januari 1946. Sebagai organisasi
profesi, PWI menjadi wahana perjuangan bersama para wartawan. Organisasi PWI
lahir mendahului SPS (Serikat Penerbit
Suratkabar). Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan PWI juga
yang melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946.
Aliansi Jurnalis
Independen
AJI adalah organisasi profesi jurnalis, yang
didirikan oleh para wartawan muda Indonesia pada 7 Agustus 1994 di Bogor, Jawa Barat, melalui penandatangan suatu deklarasi
yang disebut "Deklarasi Sirnagalih".
Organisasi ini didirikan sejak
pembredelan tiga media --DeTik, Tempo, Editor pada 21 Juni 1994 dan didirikan sebagai upaya untuk membuat
organisasi jurnalis alternatif di luar PWI karena saat itu PWI dianggap menjadi alat kepentingan pemerintah Soeharto dan tidak betul-betul memperjuangkan kepentingan jurnalis.
Sejarah
Sebelum pembredelan
Sekitar tahun 1991, jauh sebelum pembredelan tiga media, terjadi pertemuan informal belasan
jurnalis di Taman
Ismail Marzuki (TIM),
Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, dibicarakan berbagai hal yang
menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus ide tentang
perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI.
Ada juga keinginan untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu
tidak berlanjut menjadi aksi konkret.
Di berbagai kota, sebelum
berdirinya Aliansi Jurnalis Independen [AJI], sudah ada komunitas dan
kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club
(Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi
Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis
Independen) di Jakarta sendiri. Kemudian para aktivis jurnalis dari sejumlah
komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi
Sirnagalih. Untuk
menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada
diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama "aliansi" untuk AJI, dan
bukan "persatuan" seperti PWI.
Pembredelan 21 Juni 1994 membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan
bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Pembredelan 21 Juni 1994
merupakan shock theraphy, yang menjelma bendera penggalangan solidaritas
para jurnalis muda untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam untuk
membentuk wadah jurnalis yang independen. Namun, benih-benih lahirnya AJI
sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembreidelan tersebut.
Setelah pembredelan
Setelah
pembredelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen
mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan aksi menolak pembreidelan. Karena
pertimbangan prosedural, para jurnalis muda menemui pimpinan PWI Pusat yang
diketuai Sofjan Lubis dengan
Sekjen Parni Hadi. Mereka
meminta PWI Pusat memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban
pembreidelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih,
Jakarta Pusat itu, para jurnalis muda meminta, agar AJI berusaha bertemu
langsung dengan Menteri Penerangan Harmoko. PWI menyanggupi.
Sebulan
kemudian, para jurnalis termasuk dari tiga media yang dibredel kembali menemui
PWI Pusat untuk menagih janji. Ternyata PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal
memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers. Para jurnalis muda lalu
menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. PWI dianggap sudah tak efektif
lagi memperjuangkan nasib wartawan dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa.
Deklarasi Sirnagalih
Untuk
menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi pembentukan organisasi
jurnalis, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena
pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan
kerahasiaannya. Memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan
gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan
disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah
pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah
jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.
Pertemuan
jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya,
Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa
ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis
ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi dan kabar miring, maka para
jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad dan Fikri Djufri diminta
tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah
gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok
harinya, 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk
menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan
dari tokoh-tokoh pers tertentu. Deklarasi Sirnagalih ditanda tangani pada 7
Agustus 1994.
Serikat
Perusahaan Pers
Lahir di Jogjakarta, 8 Juni
1946, sejak awal Serikat Perusahaan Pers (SPS) merupakan wadah berkumpulnya
para penerbit pers (cetak). Mengalami pasang surut dan dinamika seiring kondisi
sosial-politik dan ekonomi negeri ini, salah satu momentum terpenting
organisasi ini dalam mentransformasikan dirinya menjadi organisasi modern,
terjadi tahun 2011, bertepatan dengan Kongres XXIII di Bali, 7 – 9 Juni 2011.
Persis saat usianya genap 65 tahun, SPS melakukan rebranding, mengubah logo,
dan mentransformasi dirinya menjadi bukan sekadar organisasi penerbit media
cetak (suratkabar, tabloid, dan majalah).
Perubahan nama dan logo
organisasi dari sebelumnya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) menjadi Serikat
Perusahaan Pers (SPS), menjadikan SPS kini sebagai organisasi bagi para
penerbit perusahaan pers. Tidak sebatas media cetak, melainkan juga terbuka
bagi media non cetak (online dan penyiaran). Perubahan ini antara lain juga
akibat dorongan dinamika yang terjadi pada bisnis industri media secara global,
yang mengasumsikan kini dan masa datang bisnis pers mengarah pada bentuk baru
sebagai bisnis informasi. Apapun platform medianya, konten atau informasi
itulah yang menjadi “ruh” dan produk untuk dipasarkan.
Kini, pasca Kongres XXIII di
Bali, SPS dipimpin oleh Ketua Umum Dahlan Iskan dan Jakob Oetama sebagai Ketua
Dewan Pertimbangan. Sementara di jajaran Pengurus Harian dipimpin M Ridlo ‘Eisy
sebagai Ketua Harian. Hingga Desember 2014, SPS memiliki 471 anggota yang
tersebar di 29 cabang seluruh Indonesia. Kontribusi anggota SPS terhadap
advertising expenditure seluruh media cetak tahun 2014 yang sebesar Rp 36,164
triliun (on gross), diperkirakan mencapai Rp 31,1 triliun. Ditilik dari
penetrasi pasar per Desember 2013, dari tiras beredar seluruh media cetak yang
mencapai 22,3 juta eksemplar, anggota SPS menyumbang sebesar 19 juta eksemplar.
Kini di akhir masa
kepengurusan 2011 – 2015 dan menjelang kepengurusan baru 2011 - 2015, SPS
kembali menegaskan visi – misinya untuk selalu Menegakkan Kemerdekaan Pers dan
Membangun Industri Pers yang Sehat dan Bermartabat. Itu semua terangkai dalam
berbagai program kerja yang bersendikan pada bidang-bidang Pendidikan,
Kampanye, Advokasi, dan Konsolidasi Organisasi.
G. DAMPAK
PERS
Dampak positif kebebasan
pers/ beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya kebebasan pers yaitu:
1.
Pers menjadi penyalur aspirasi rakyat;
2.
Pers bebas
mencari/mendapatkan kebenaran, sehingga dapat mewujudkan keadilan;
3.
Pers menjadi
kontrol sosial yang bebas memberikan kritik, saran dan pengawasan;
4.
Pers menjadi penyebar informasi yang dapat
memenuhi hak masyarakat;
5.
Pers menjadi wahana
komunikasi massa;
6.
Pers menjadi
penghubung antar sesama manusia;
7.
Pers menjadi
pendidik karena bebas menyebarkan IPTEK;
8.
Pers menjadi
pemberi hiburan kepada masyarakat.
Dampak negatif dari penyalahgunaan
kebebasan media massa dapat dibedakan secara intern dan ekstern, yaitu :
1. Secara intern
A. Pers tidak obyektif, menyampaikan berita bohong, lambat atau cepat akan
ditinggal pembacanya,
B. Ketidaksiapan masyarakat untuk menggunakan hak jawab akan menimbulkan
kejengkelan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, akan
melakukakan tindakan yang anarkhis dengan merusak kantor, bahkan tindakan fisik
terhadap wartawan yang memberitakan.
2.Secara ekstern
A.
Mempercepat
kerusakan akhlak dan moral bangsa,
B.
Menimbulkan ketegangan
dalam masyarakat,
C.
Menimbulkan sikap antipati
dan kejengkelan terhadap pers,
D.
Menimbulkan sikap saling
curiga dan perpecahan dalam masyarakat,
E.
Mempersulit diadakannya
islah / merukunkan kembali kelompok masyarakat yang sedang konflik.
H.
TEORI PERS
- Teori Pers
Otoritan
Muncul
pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya
mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil
dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang–orang bijak yang
berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi
kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan
demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasanya menggunakan
pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa
yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta,
dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung
kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan demikian
merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana
pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan.
Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan,
hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti
ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan dan
juga dalam menyampaikan kebenaran objektif kepada masyarakat. Praktek – praktek
otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada dipakai
teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh sebagian besar
Negara komunis.
- Teori Pers
Liberitarian
Teori ini lahir pada saat tumbuhnya demokrasi politik dan paham kebebasan
berkembang pada abad ke-17, sebagai akibat revolusi industri dan digunakannya
sistem ekonomi laissez-faire. Kemerdekaan koloni–koloni di Amerika dan Revolusi
Perancis(1789) dengan semboyan liberty, egality, fraternity ikut serta
mengembangkan pers libertarian. Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan
negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi
dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika
dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan
alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan,
hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai
mitra dalam mencari kebenaran. Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument
pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen
yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan
menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya
bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul,
semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar
bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas,
kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers. Sebagian besar Negara non
komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian.
Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk
sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan
kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis.
- Teori Pers Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility)
Teori ini berkembang sebagai akibat kesadaran pada abad ke-20, dengan berbagai
macam perkembangan media massa(khususnya media elektronik), menuntut kepada
media massa untuk memiliki suatu tanggung jawab social yang baru. Teori ini
diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab
social punya asumsi utama : bahwa kebebasan pers mutlak,banyak mendorong
terjadinya dekadensi moral. Oleh karena itu, teori ini memandang perlu adanya
pers dan system jurnalistik yang menggunakan dasar moral dan etika. Asal saja
pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional
mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika
pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam
masyarakat yang menja-
lankan fungsi komunikasi massa.Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori
tanggungjawab social sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian.
Digambarkan ada enam tugas pers :
Ø Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan
tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Ø Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat
dapat mengatur dirinya sendiri.
Ø Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga
yang mengawasi pemerintah.
Ø Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau
jasa melalui medium periklanan,
Ø Menyediakan hiburan
Ø Mengusahakan sendiri biaya financial, sehingga bebas dari tekanan-tekanan
orang yang punya kepentingan.
- Teori Pers Totalitarian (Soviet Komunis)
Teori ini berpegang pada asas kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet
bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, yang dalam hal ini adalah partai
komunis. Dimana “Partai Komunis” tersebut dalam pengertian Marxis adalah
rakyat. Berdasarkan pemahaman itu pers harus mengikuti kebenaran rakyat, yaitu
partai yang substansinya adalah pemerintah.
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang,
sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan
masyarakat, sehingga yang berhak menggunakan media pers hanya orang-orang yang
setia pada penguasa dan anggota yang ortodok.
Tugas pokok pers dalam system pers komunis adalah menyokong, menyukseskan, dan
menjaga kontinuitas system social Soviet atau pemerintah partai. Dan fungsi
pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada
masyarakat agar terbebas dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat menjauhkan
masyarakat dari cita-cita partai.
Antara teori totalitarian dengan teori otoritarian sama-sama menggunakan kata
kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah
kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai.
Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan
mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada
kepentingan rakyat (manifestasi kehendak rakyat).
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa:
A. Bahwa pers sangat berperan aktif dalam kehidupan kita. Apalagi bagi
kemajuan serta kemerdekaan bangsa kita. Dikala itu, para pers atau wartawan
sangat berjuang agar dapat menyebarluaskan berita mengenai kemerdekaan RI.
B. Bahwa perjuangan pers dalam mendapatkan kebebasan dalam berpendapat tidaklah
mudah. Mereka harus berjuang keras melawan para penjajah dan bahkan pemerintah
sendiri. Hingga akhirnya presiden Habibie dan peresiden Abdur Rahman Wahid
membantu dan memberakan hak untuk bmengungkapkan pendapat.
C. Pers memiliki organisasi yang mungkin kita sendiri atau orang awam tidak
ketahui. Namun dengan adanya makalh ini, kita dapat lebih tahu organisasi yang
didirikan pleh pers serta kapan pendiriannya dan ketuanya.
D. Perss memiliki dampak negatif dan positif bagi kehidupan kita.
B.
DAFTAR PUSTAKA
(Sumber :
pezat51newscommunity.blogspot.com)
(
http://id.wikipedia.org/wiki/Aliansi_Jurnalis_Independen)
(
http://aji.or.id/read/pengurus.html)
setiadi,
RetnoListyati.PKN untuk SMK XII.Erlangga.Jakarta.