Kamis, 19 Februari 2015

MEMPROSES ENTRI JURNAL

Jurnal adalah tempat pencatatan secara sistematis, historis/kronologis dengan menyebutkan akun-akun yang terkain dengan bukti transaksi keuangan yang telah dianalisis.
Jenis - jenis jurnal ada 3 yaitu :
  1. Jurnal umum yaitu jurnal yang sistem pencatatan transaksinya secara umum tanpa menganalisis jenis transaksi dari sebuah bukti transaksi.
  2. Jurnal khusus yaitu jurnal yang sistem pencatatn transaksinya harus dikelompokkan sesuai dengan jenis transaksi.
  3. Jurnal Penyesuaian yaitu jurnal yang dibuat untuk menyesuaikan transaksi tertentu yang membutuhkan perhitungan atatu penyesuain. 
 Dalam jurnal khusus ada 5 jurnal yaitu :
    1. Jurnal pembelian untuk pencatatan transaksi pembelian barang dagang dan barang lain secara kredit.
    2. jurnal penjualan untuk transaksi penjualan barang dagang atau barang lain secara kredit.
    3. Jurnal penerimaan kas untuk pencatatan transaksi penerimaan uang secara tunai baik sebagai pelunasan atau penjualan barang secara tunai.
    4. Jurnal pengeluaran kas untuk pencatatan transaksi pengeluaran uang melalui kas.
    5. Jurnal Umum atau Memorial untuk pencatatn transaksi yang tidak dapat dicatatat pada jurnal khusus lainnya. 
 Dalam postingan kali ini, saya akan membahas mengenai jurnal umum terlebih dahulu. Namun sebelum membahas lebih lanjut jurnal Umum, mari kita pelajari dulu berapa jenis perusahaan. jenis perusahaan ada 3 yaitu:
  1. perusahaan jasa yaitu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa tanpa ada penjualan/produksi barang dagang. Dengan kata lain, perusahaan jasa adalah perusahaan yang menjual jasa/tenaga/keahliannya. Dan dalam perusahaan jasa pasti mengalami untung dan tidak mengalami kerugian.
  2. perusahaan dagang yaitu perusahaan yang menjual barang dagang tanpa melakukan produksi atau pengolahan barang dagang sebelumnya. Jadi, pemilik perusahaan membeli barang dagang dari perusahaan lain lalu dijual di perusahaannya dalam bentuk barang jadi. Dalam perusahaan ini dapat terjadi untung maupun rugi.
  3. perusahaan manufaktur yaitu perusahaan yang berproduksi atau memproses barang dagangnya sendiri baru setelah itu dijual di perusahaan dagang. Perusahaan ini membeli Bahan Baku lalu diolah menjadi Barang jadi. perusahaan ini hampir sama dengan perusahaan dagang, yang membedakan hanya pada produsinya saja.
Membuat Jurnal Umum

Membuat jurnal umum sangat mudah. Tinggal menganalisis transaksinya saja baru setelah itu dimasukkan dalam Jurnal.
Bentuk Jurnal Umum terdiri dari 4 kolom. kolom pertama diisi dengan Tanggal, kolom kedua Keterangan, kolom ketiga Debit dan kolom keempat Kredit.



Kamis, 12 Februari 2015

DOKUMEN TRANSAKSI



Dokumen transaksi adalah bukti tertulis tentang terjadinya sebuah transaksi keuangan, yang digunakan sebagai dasar awal atau sumber pencatatan sebuah jurnal dalam Akuntansi.
Dokumen transaksi di bagi menjadi 2 yaitu :
1.     Dokumen transaksi tertulis  yaitu dokumen yang khusus dan dibuat oleh dan untuk intern perusahaan.
2.    Dokumen transaksi ekstern yaitu bukti pencatatan transaksi yang berhubungan dengan pihak diluar perusahaan.
No
Transaksi
Jenis Bukti Transaksi
1
Pembelian perlengkapan / peralatan
Nota kontan/faktur/kuitansi
2
Pembelian barang dagang
Nota kontan/faktur/kuitansi
3
Retur pembelian barang dagang
Nota debet/kopi nota retur
4
Pembayaran pelunasan pembelian kredit
Kuitansi/pengeluaran kas
5
Penjualan barang dagang
Kopi faktur/nota kontan/kopi kuitansi
6
Retur penjualan
Nota kredit/nota retur
7
Penerimaan pelunasan penjualan kredit
Kopi kuitansi/penerimaan kas
8
Penjualan barang dagang  kepada instansi
Kopi faktur
9
Pembayaran beban
Memo/kuitansi

Keterangan :
1.     Nota kontan => bukti transaksi untuk pembelian atau penjualan secara tunai.
2.    Faktur                   => bukti transaksi untuk pembelian atau penjualan secara kredit.
3.    Kuitansi                 => Bukti transaksi untuk pembelian, penjualan, pelunasan atau pembayaran      beban.
4.    Nota debit   => surat atau bukti transaksi terjadinya pengurangn utang usaha karena pengembalian barang oleh pembeli.
5.    Nota Kredit => surat atau bukti transaksi terjadinya pengkreditan piutang karena pengembalian barang karena penurunan harga akibat kerusakan atau kesalahan pengiriman barang pesanan.
6.    Memo           => bukti transaksi yang dibuat oleh pimpinan perusahaan untuk bagian perusahaan yang berisi perintah pencatatan.

tugas PKN



MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
http://chivaz.net/wp-content/uploads/2013/01/Definisi-Pers.gif





















KELAS XII AK 4
OLEH         :
1.     SURIAMI                                                                     
2.     UVI MAUIDHLOTUL LATIFAH
3.     WAHYU DIAN RAHMATIKA
4.     WAHYU SEKTI WIJAYA
5.     YESYSCA APRILIA

SMK ANTARTIKA 2 SIDOARJO
JL. SIWALANPANJI BUDURAN SIDOARJO



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas akhir sekolah kami yang berupa makalah. Mekalah ini kami beri judul “PERS INDONESIA”. Terima kasih pula kepada ibu Dra.Asnifa Hidayati M.Mpd. selaku guru pembimbing Pendidikan kewarganegaraan kami yang telah membimbing kami, sehingga kami dapat menyusun makalh ini dengan baik. Salam hangat dan salam semangat bagi teman-teman penyusun makalah ini. Berkat kerja kerasnya selama ini sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.
Terima kasih pula kepada para sumber yang telah menuliskan materi Pers ini secara gamblang dan jelas. Sehingga kami dapat dengan mudah menyusun makalah ini. Walaupun mungkin para sumber tidak dapat membaca hasil kerja keras kami, tapi sangat bertema kasih atas bantuannya.
Kami selaku tim penyusun sangat berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya kami yang telah menyusunnya. Selain itu, kami juga berharap dengan adanya makalah ini dapat menjadi bukti keseriusan kami dalam mengerjakan tugas akhir yang telah diberikan kepada kami.
Atas segala hormat, Terima kasih.





Sidoarjo,    Januari 2015

Tim penyusun  




DAFTAR ISI
·         Kata Pengantar                                                                                                           
·         Daftar Isi                                                                                                                     
·         Bab I Pendahuluan                                                                                                     
o   1.1 Latar Belakang                                                                                          
o   1.2 Rumusan Masalah                                                                                     
o   1.3 Tujuan Penulisan                                                                                       
·         Bab II Pembahasan                                                                                                     
o   A. Pengertian, fungsi, manfaat  serta karakteristik pers                                 
o   B. Sejarah Pers di Indonesia                                                                           
o   C. Dasar Hukum Pers di Indonesia                                                                
o   D. Peranan Pers di Indonesia                                                                          
o   E. Sistem pers di Indonesia                                                                            
o   F. Kode Etik Pers                                                                                         
o   G.Organisasi Pers di Indonesia                                                                       
o   H.Dampak Pers                                                                                               
o   I. Teori Pers                                                                                                     
·         Bab III Penutup                                                                                                          
o   A. Kesimpulan                                                                                                
o   B. Daftar Pustaka                                                                                           












BAB I PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Peranan Pers dalam masyarakat demokrasi, pers adalah salah satu sarana warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta satu sarana penting dalam Negara demokrasi, layaknya Negara kita Indonesia. Pada berbagai aspek kehidupan di Negara ini, masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara. Sesuai UUD 1945 Ps. 28 yang menerangkan bahwa setiap warga Negara berhak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya, sehingga pers pun memiliki hak yang sama dengan landasan hokum UUD Ps.28 tersebut.
     Tata cara mengungkapkan pendabat sebagai Pers juga sudah diatur dalam kode etik Pers atau pun kode etik Jurnalistik. Dalam penyampaian pendapatya pers menggunakan beberapa media. Salah satunya adalah media cetak. Tak hanya media cetak saja melankan media yang lain yakni media Elektronik. Pers juga memiliki organisasi yang menaunginya. Itu berarti bahwa keberadaan pers di Indonesia sangat perlu dan sudah diatur.
     Keberadaan pers di Indonesia ini memberikan manfaat, dampak, dan pengruh bagi masyarakat maupun kalangan pejabat. Sehingga dalam kesempatan ini kami ingin mengulas lebih dalam lagi apa fungsi, manfaat, peranan serta dampak Pers bagi kehidupan bermasyarkat. Tak hanya itu kami juga ingin mengulas lebih dalam lagi bagaimana pers di Indonesia ii dapat terbentuk serta apasajakah organisasi pers yang ada di Indonesia.

1.2  RUMUSAN MASALAH

1.      Apa fungsi, manfaat, serta karakteristik dari pers ?
2.      Bagaimanakah sejarah pers di Indonesia ?
3.      Apa dasar hukum yang melandasi pers di Indonesia ?
4.      Bagaimana peranan pers di Indonesia ?
5.      Bagaimana sistem pers di Indonesia ?
6.      Apa sajakah organisasi pers di Indonesia ?
7.      Apa saja wahana komunikasi massa ?
8.      Bagaimana teori pers di Indonesia ?
9.      Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh pers di Indonesia ?




1.3  TUJUAN PENULISAN

1.      Menjabarkan pengertian, fungsi, manfaat, serta karakteristik pers di Indonesia.
2.      Menjelaskan sejarah pers di Indonesia.
3.      Menjabarkan dasar hukum yang melandasi pers di Indonesia.
4.      Menjelaskan peranan pers di Indonesia.
5.      Menjelaskan sistem pers di Indonesia.
6.      Menjabarkan organisasi pers yang ada di Indonesia.
7.      Menjabarkan wahana komunikasi massa.
8.      Menjabarkan teori pers di Indonesia.
9.      Menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh pers di Indonesia.
























A.   PENGERTIAN, FUNGSI, MANFAAT SERTA KARAKTERISTIK PERS

a.       Pengertian Pers
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Usaha percetakan dan                  penerbitan; Usaha pengumpulan dan penyiaran berita; penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio; orang yang bergerak dalam penyiaran berita; medium berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.
Pers adalah proses pengumpulan, evaluasi, dan distribusi berita kepada publik. Di dalam pers atau jurnalis para wartawan menulis berita untuk di sebar luaskan kepada masyarakat atau publik. Wartawan ialah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan seperti yang dimaksudkan dalam ayat 3 pasal ini secara kontinu.
Kewartawanan ialah pekerjaan/kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio televisi dan film
Perusahaan Pers ialah perusahaan surat-khabar harian,penerbitan berkala, kantor berita, bulletin dan lain-lain seperti yang tersebut ayat 6, 7 dan 8 dalam pasal ini.
Kantor Berita adalah pusat pengumpulan dan penyebaran berita bahan-bahan informasi dan karangan-karangan guna melayani harian, penerbitan berkala, siaran-siaran radio, televisi, instansi-instansi Pemerintah, badan umum dan swasta lainnya yang usahanya meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia dalam tata-pergaulan dunia
Organisasi Pers ialah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers yang disahkan oleh Pemerintah. Sebelumnya, makna pers diartikan dalam arti sempit yakni hanya dalam media cetak. Namun, kini pers dimaknai dalam arti yang luas tidak hanya dalam media cetak namun juga media lain seperti media elektronik.
.           Sehingga dapat diartikan bahwa pers adalah sebuah organisasi yang mencetak sebuah berita yang akan disebar luaskan pada media tidak hanya melalui madia cetak tapi juga media lain seperti elektronik.

b.        Fungsi Pers

Pers memiliki beberapa fungsi di antaranya ialah :

v  Pers sebagai Media Informasi
Media informasi merupakan bagian dari fungsi pers dari dimensi idealisme. Informasi yang disajikan pers merupakan berita-berita yang telah diseleksi dari berbagai berita yang masuk ke meja redaksi, dari berbagai sumber yang dikumpulkan oleh para reporter di lapangan. Menurut Pembinaan Idiil Pers, pers mengemban fungsi positif dalam mendukung mendukung kemajuan masyarakat, mempunyai tanggung jawab menyebarluaskan informasi tentang kemajuan dan keberhasilan pembangunan kepada masyarakat pembacanya. Dengan demikian, diharapkan para pembaca pers akan tergugah dalam kemajuan dan keberhasilan itu.
v  Pers sebagai Media Pendidikan
Dalam Pembinaan Idiil Pers disebutkan bahwa pers harus dapat membantu pembinaan swadaya, merangsang prakarsa sehingga pelaksanaan demokrasi Pancasila, peningkatan kehidupan spiritual dan kehidupan material benar-benar dapat terwujud. Untuk memberikan informasi yang mendidik itu, pers harus menyeimbangkan arus informasi, menyampaikan fakta di lapangan secara objektif dan selektif. Objektif artinya fakta disampaikan apa adanya tanpa dirubah sedikit pun oleh wartawan dan selektif maksudnya hanya berita yang layak dan pantas saja yang disampaikan. Ada hal-hal yang tidak layak diekspose ke masyarakat luas.
v  Pers sebagai Media Entertainment
Dalam UU No. 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1disebutkan bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai hiburan. Hiburan yang diberikan pers semestinya tidak keluar dari koridor-koridor yang boleh dan tidak boleh dilampaui. Hiburan yang sifatnya mendidik atau netral jelas diperbolehkan tetapi yang melanggar nilai-nilai agama, moralitas, hak asasi seseorang, atau peraturan tidak diperbolehkan. Hiburan yang diberikan pers kepada masyarakat yang dapat mendatangkan dampak negatif, terutama apabila hiburan itu mengandung unsur-unsur terlarang seperti pornografi dan sebagainya seharusnya dihindari.
v  Pers sebagai Media Kontrol Sosial
Maksudnya pers sebagai alat kontrol sosial adalah pers memaparkan peristiwa yang buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa itu tidak terulang lagi dan kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan semakin tinggi. Makanya, pers sebagai alat kontrol sosial bisa disebut “penyampai berita buruk”.
v  Pers sebagai Lembaga Ekonomi
Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagian besar surat kabar dan majalah di Indonesia memperlakukan pembacanya sebagai pangsa pasar dan menjadikan berita sebagai komoditas untuk menarik pangsa pasar itu. Perlakuan ini menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan akhir pers. Konsekuensinya, pers senantiasa berusaha menyajikan berita yang disenangi pembaca.
Selain fungsi pers yang ada di atas, pers juga berfungsi sebagai “watchdog” atau mata dan telinga, pemberi isyarat, pemberi tanda – tanda dini, pembentuk opini, dan pengarah agenda ke depan.
c.       Manfaat Pers
Ada 8 manfaat pers pers bagi masyarakat Indonesia, yaitu:
·         Pers menjadi penyalur aspirasi rakyat
·         Pers bebas mencari atau mendapatkan kebenaran sehingga dapat    mewujudkan keadilan.
·         Pers menjadi kontrol sosial yang bebas memberikan kritik, saran, dan pengawasan
·         Pers menjadi penyebar informasi yang dapat memenuhi hak masyarakat
·         Pers menjadi wahana komunikasi massa
·         Pers menjadi penghubung antarsesama manusia

d.      Karakteristik Pers
§  Periodesitas     =>  Pers harus terbit secara teratur, periodik.
§  Publisitas         =>  Pers ditujukan kepada khalayak umum yang sangat heterogen
§  Aktualitas        => Informasi yang disuguhkan harus mengandung unsur kebaruan, menunjuk kepada peristiwa yang benar-benar baru terjadi atau sedang terjadi.
§  Universalitas   => Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumber berbagai peristiwa yang dilaporkan pers berasal dari 4 penjuru mata angin. Dari barat, utara, timur dan selatan.
§  Objektifitas     => Nilai etika dan norma yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan menarik perhatian pembaca, tidak mengganggu perasaan dan pendapat mereka. kebenaran isi berita yang disampaikan tidak menimbulkan tanda tanya














A.    SEJARAH PERS DI INDONESIA

Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa  bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang berjuang untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan, wartawan bahkan  menyandang dua peran sekaligus,  sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan, Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita  kemerdekaan.
            Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelahiran PWI di tengah kancah perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa dan negara.
Sejarah lahirnya surat  kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional,  untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.
Sebenarnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946. Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”. Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Yang datang beragam wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan. Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:

            a. Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia
                dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
                diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris
                Sudarjo Tjokrosisworo.


            b. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan
                1. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
                2. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
                3. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
                4. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
                5. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
                6. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
                7. Sudjono (Berdjuang, Malang), dan
                8. Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat,Yogyakarta).

26 tahun kemudian menyusul lahir Serikat Grafika Pers (SGP), antara lain karena  pengalaman pers nasional menghadapi kesulitan di bidang percetakan pada pertengahan tahun 1960-an. Kesulitan tersebut meningkat sekitar tahun 1965 sampai 1968 berhubung makin merosotnya peralatan cetak di dalam negeri, sementara di luar Indonesia sudah digunakan teknologi grafika mutakhir, yaitu sistem cetak offset menggantikan  sistem cetak letter-press atau proses ‘timah panas’. Mesin-mesin dan peralatan cetak letter-press yang sudah tua, matrys dengan huruf-huruf yang campur-aduk, teknik klise yang tidak lagi mampu menghasilkan gambar-gambar yang baik, semuanya menambah suramnya kehidupan pers nasional. Oleh karena itu, tergeraklah keinginan untuk meminta pemerintah ikut mengatasi kesulitan tersebut. Pada bulan Januari 1968 sebuah nota permohonan, yang mendapat dukungan SPS dan PWI, dilayangkan kepada Presiden Soeharto waktu itu, agar pemerintah turut membantu memperbaiki keadaan pers nasional, terutama dalam mengatasi pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers.
Undang-undang penanaman modal dalam negeri yang menyediakan fasilitas keringanan pajak dan bea masuk serta dimasukkannya grafika pers dalam skala prioritas telah memacu berdirinya usaha-usaha percetakan baru. Menyusul berbagai kegiatan persiapan, akhirnya berlangsung Seminar Grafika Pers Nasional ke-1 pada bulan Maret 1974 di Jakarta. Keinginan untuk membentuk wadah grafika pers SGP terwujud pada 13 April 1974. Kelahiran SGP  dikukuhkan dalam kongres pertamanya di Jakarta, 4-6 Juli 1974. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) ditetapkan sebagai anggota organisasi pers nasional berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers. Bidang periklanan sebelumnya diwadahi oleh Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI) yang berdiri sejak September 1949 dan didominasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Pada tahun 1953 di Jakarta dibentuk organisasi saingan bernama Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN).  Setahun kemudian keduanya bergabung dengan nama PBRI.
Tahun 1956 Muhammad Napis menggantikan F. Berkhout sebagai ketua. Bulan Desember 1972 rapat anggota PBRI memilih A.M. Chandra sebagai ketua baru menggantikan Napis dan bersamaan dengan itu nama organisasi diubah menjadi Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Berdasarkan UU pers tahun 1982, organisasi periklanan dinyatakan sebagai komponen keluarga pers nasional. Juga ditetapkan bahwa bidang usaha (aspek komersial) periklanan berada di bawah pembinaan Departemen Perdagangan & Koperasi sedangkan bidang operasionalnya (aspek idiilnya) ditempatkan dalam pembinaan Departemen Penerangan.
Mengingat sejarah pers nasional sebagai pers perjuangan dan pers pembangunan, maka tepatlah keputusan Presiden Soeharto tanggal 23 Januari 1985 untuk menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional.

SEBELUM PROKLAMASI

Surat kabar atau majalah adalah sarana komunikasi yang utama untuk memantapkan kebangkitan nasional dalam rangka mencapai cita-cita perjuangan. Karena itu, dalam jangka waktu yang relatif pendek, di awal tahun 1920, telah tercatat sebanyak 400 penerbitan dalam berbagai corak di banyak kota  di seluruh Indonesia. Pada bulan Juli 1909, di Jakarta diterbitkan mingguan Boemipoetera yang dipimpin Sutan Mohammad Salim. Inilah salah satu penerbitan pertama yang menampilkan wajah dan warna nasional Indonesia, di depan mata penjajah. Di Medan pada tahun 1910 telah terbit surat kabar nasional bernama Pewarta Deli, dipimpin Dja Endar Muda, yang sebelumnya adalah pemimpin redaksi Pertja Barat di Padang pada tahun 1903. Pewarta Deli diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan pribumi bernama Sjarikat Tapanuli di kota Medan. Juga di Medan, pada bulan November 1916, terbit koran pertama yang memakai kata “merdeka”, yakni Benih Merdeka, di bawah pemimpin redaksi Mohamad Samin, tokoh Sarekat Islam di kota itu. Direktur surat kabar tersebut adalah T. Radja Sabaruddin, ketua Sarekat Islam Cabang Medan. Benih Merdeka memakai semboyan “Organ oentoek menoentoet keadilan dan kemerdekaan.”. Parada Harahap pernah menerbitkan koran di kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara bagian selatan., bernama Sinar Merdeka, dan pada tahun 1918 menjadi pemimpin redaksi majalah karyawan/pegawai perkebunan bernama De Cranie.
Pada tahun 1920-an, jumlah surat kabar meningkat pesat. Di kota Bandung terbit Sora Mardika (1920), Sipatahoenan (1923), dan Soeara Ra’jat Mardika (1931). Penerbitan lain di Medan adalah Matahari Indonesia dengan redaktur Iwa Kusumasumantri  pada tahun 1928 (tahun 1945 diangkat menjadi menteri sosial RI, 1953 menjadi menteri pertahanan) dan Sinar Deli di bawah pimpinan Mangaradja Ihutan serta Hasanul Arifin, dengan dibantu wartawan B.M. Diah, Ani Idrus, dan lain-lain. Hamka dan M. Yunan  Nasution mengasuh Pedoman Masjarakat yang semula dipimpin H. Asbiran Ya’kub (1935). Sebelumnya telah terbit majalah  Pandji Islam (1934) dengan pemimpin redaksi Zainal Abidin Ahmad. Di Banjarmasin terbit antara lain surat kabar Soeara Kalimantan (1930), pertama kali nama “Kalimantan” digunakan untuk surat kabar. Pemimpin redaksinya adalah Adnan Abdul Hamidhan.

WADAH PERSATUAN WARTAWAN

            Seperti masyarakat pergerakan politik lainnya, para wartawan tidak ketinggalan membentuk perkumpulan sendiri sebagai wadah persatuan dan advokasi pers nasional. Organisasi wartawan Indonesia pertama didirikan bagi kepentingan perjuangan dan profesi adalah Inlandsche Joernalisten Bond (IJB). Dasar dan tujuan IJB yang dibentuk tahun 1924. Perintisnya adalah pemimpin redaksi berkala Sarotomo, yang terbit di kota Surakarta dan tokoh Sarekat Islam bernama Sumarko Kartodikromo. Pada tahun 1919, bertempat di Gedung Boedi Oetomo Medan, IJB diubah menjadi Inlandsche & Chinesche Journalisten Bond dengan ketua Mohammad Joenoes dan sekretaris Parada Harahap.
            Di Semarang, pada tahun 1931, berdiri Persatoean Kaoem Journalis. Pengurusnya adalah Saerun sebagai ketua, Wigjadisastera (dari kantor berita Het Indonesische Pers Agentschaap, Bogor) sebagai wakil ketua. Pada akhir Desember 1933, bertepatan dengan rencana penyelenggaraan Kongres Indonesia Raja kedua, yang ternyata dilarang oleh polisi kolonial, di Surakarta sejumlah wartawan Indonesia mengadakan rapat untuk membentuk Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI). Sejak itu hingga masa pendudukan militer Jepang, PERDI sempat mengadakan kongres di Bandung, Jakarta dan Kaliurang/Yogyakarta. Berdirinya PERDI dengan azas perjuangannya tersebut menunjukkan bahwa wartawan Indonesia tidak mundur terhadap usaha pengekangan oleh pihak penjajah.

PENDUDUKAN MILITER JEPANG

            Jepang, sekutu negara-negara Axis pimpinan Jerman dalam Perang Dunia II, melancarkan pendudukan militer atas Indonesia sejak 1942. Pada masa pendudukan Jepang tersebut dunia pers Indonesia dikendalikan berdasarkan Undang-undang Pemerintah (Osamu Seiri) No. 16 tentang “Pengawasan Badan-Badan Pengumuman dan Penerangan dan Penilikan Pengumuman dan Penerangan.” Pada kenyataannya, peraturan militer Jepang tersebut mematikan koran-koran pergerakan atau mengubahnya dengan nama lain dan diawasi secara ketat oleh polisi militer Jepang. Jepang menerbitkan koran-koran seperti Soeara Asia (eks Soeara Oemoem, Surabaya), Tjahaja (gabungan beberapa koran seperti Sipatahoenan, Kaoem Moeda, dan lain-lain di Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baru (Semarang), Asia Raja (Jakarta) yang dipimpin Sukardjo Wirjopranoto (menteri negara RI 1945) dan R.M. Winarno.
Jepang memberangus koran-koran di Jakarta dan menerbitkan koran-koran baru seperti Pemandangan dan Pembangoen. Kantor berita Antara menjadi Yashima, berikutnya digabung dengan Domei, tetapi kemudian oleh Adam Malik (menteri koordinator perekonomian RI 1963, wakil perdana menteri 1966, menteri luar negeri 1967, ketua MPR/DPR 1977, wakil presiden 1978) diganti menjadi Domei bagian Indonesia. Tentara pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya secara fasis, antara lain dengan membubarkan atau mengubah organisasi-organisasi yang ada serta menangkap atau membunuh tokoh-tokoh pergerakan yang melawan. Di bidang pers, selain koran-koran yang diizinkan Jepang, kaum pergerakan membuat siaran-siaran illegal. Tetapi, wartawan–wartawan Indonesia yang dicurigai atau dituduh melakukan gerakan bawah tanah langsung ditangkap tentara Jepang atau dibunuh.

PERS NASIONAL SEJAK PROKLAMASI

Tepat tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh Sukarno-Hatta dari rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya, pihak Sekutu (pasukan Inggris, Amerika, Australia dan Belanda) telah menyiapkan diri untuk memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang dan langsung  memulihkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Guna melincinkan jalan bagi kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu lebih dulu memerintahkan pasukan Jepang untuk mempertahankan status quo, atau dengan kata lain menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Akibat keputusan Sekutu tersebut, terjadi bentrokan fisik besar dan kecil antara Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.
            Dengan latar belakang ini, tugas wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut berjuang mempertahankan Proklamasi. Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers semasa pendudukan militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan mendukung Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar dan percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang. Surat kabar Indonesia pertama yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia (6 September).

PWI DAN SPS DIDIRIKAN

            Pada 9 Februari 1946, sewaktu pasukan Inggris dan Belanda sedang meningkatkan operasi pendaratan dan pendudukan di berbagai daerah republik, serta terus meningkatkan strategi pengekangannya, wartawan-wartawan Republiken mengadakan kongres pertamanya di Surakarta untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada pertemuan mendirikan PWI itu,  selain wartawan dari daerah republik, juga hadir wartawan-wartawan yang berhasil lolos dari daerah-daerah pendudukan dan dari incaran serdadu Sekutu/Belanda.
Pada masa perang kemerdekaan sejak deklarasi kemerdekaan sampai saat berlangsungnya perundingan KMB,  para tokoh PWI berhasil melangsungkan tiga kali kongres. Kongres pertama di Surakarta, 9-10 Februari 1946, menghasilkan pengurus yang diketuai Mr. Sumanang. Kongres kedua di kota Malang, 23-24 Februari 1947, menetapkan pengurus baru terdiri Usmar Ismail sebagai ketua. Pada kongres ketiga di Yogyakarta, 7-9 Desember 1949, Djawoto terpilih kembali sebagai ketua.
Pada kongres PWI pertama di Surakarta, para wartawan pergerakan sudah memikirkan pentingnya upaya di bidang pengusahaan pers demi kelangsungan hidup pers sebagai alat perjuangan dan pembangunan bangsa. Mengingat kepentingan inilah peserta kongres sepakat untuk membentuk panitia berjumlah 10 orang. Dibentuknya panitia tersebut mendorong  lahirnya Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) di Yogyakarta pada 8 Juni 1946 (namanya kemudian menjadi Serikat Penerbit Suratkabar). Anggota  pengurus SPS pada saat pembentukannya termasuk wartawan-wartawan pergerakan seperti Sjamsuddin Sutan Makmur, Djamal Ali, Ronggo Danukusumo dan Sumanang.

PEMBATASAN KEBEBASAN PERS

Landasan perundang-undangan pers masa Orde Baru adalah Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Pasal 2 Ketetapan MPRS tersebut  mengaitkan kebebasan pers dengan keharusan adanya pertanggung jawaban kepada:

a. Ketuhanan Jang Maha Esa
b. Kepentingan rakjat dan keselamatan negara
c. Kelangsungan dan penyelesaian revolusi hingga
    terwujudnya tiga segi kerangka tujuan revolusi (jargon
    politik dari era Presiden Sukarno)
d. Moral dan tata susila
e. Kepribadian bangsa.
  
Ditetapkan pula bahwa “kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan dan bukan kebebasan dalam pengertian liberalisme”.

Kemudian, pada 12 Desember 1966, dengan persetujuan DPR, pemerintah memberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Pada tanggal 20 Septemebr 1982, pemerintah bersama DPR menyetujui undang-undang baru untuk pers, yang lengkapnya berjudul Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967. Perubahan yang dimaksud dalam UU No.4/1967 adalah pencabutan Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 yang membatasi kebebasan pers, sehingga dinilai  bertentangan dengan UU No.11/1966, khususnya terhadap ketentuan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif (Pasal 3) dan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan (Pasal 4). Berlakunya UU No.4/1967 dengan maksud menghilangkan ancama pembreidelan persadalah sejalan dengan tuntutan PWI (lihat Laporan Pengurus Pusat PWI dalam Kongres ke-13 PWI di Banjarmasin, 17-21 Juni 1968).

LANGKAH AWAL MENEGAKKAN KEBEBASAN PERS

Mendahului kasus-kasus suram yang menghantui kebebasan pers di masa awal orde reformasi sejak Soeharto lengser, kalangan pers sendiri secara agresif menggulirkan kampanye publik untuk menegakkan kebebasan pers. Bahkan beberapa hari menjelang pergantian presiden, pada tanggal 18 Mei 1998  sejumlah wartawan dari beberapa kota yang sedang berkumpul di Solo mencetuskan Deklarasi Wartawan Indonesia Tentang Kemerdekaan Pers mengacu pada Pasal 28 UUD 1945. Pada 15 Oktober, diskusi wartawan dan akademisi di Jakarta menghasilkan pernyataan, bahwa kebebasan pers adalah kebebasan dari ancaman, paksaan, tekanan, dalam bentuk apa pun dan dari pihak mana pun, untuk menyampaikan informasi.
           
Secara kongkrit,  MPR didesak mengeluarkan ketetapan yang menjamin kebebasan pers. Pada 13 November 1998 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, yang mencantumkan pasal-pasal mengenai hak kemerdekaan menyatakan pikiran; kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat; serta hak atas kebebasan informasi, termasuk hak “mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal 42 Tap MPR tersebut menegaskan, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tersebut “dijamin dan dilindungi” serta perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia itu adalah “tanggung jawab Pemerintah”.
Dalam upaya menegakkan kebebasan pers di awal masa reformasi, patut dicatat peran positif Presiden Habibie (terlepas kasus pembreidelan Tempo dan somasi terhadap The Jakarta Post sebelumnya, serta usulnya kemudian untuk menerapkan  sistem lisensi bagi  profesi wartawan). Juga perlu diingat dukungan bulat  menteri penerangan Mohamad Yunus, seorang mantan komandan pasukan tempur. Yunus sempat mendapat pujian dari lembaga Committee To Protect Journalist yang berpusat di Amerika atas keputusannya mengundang pengurus Article 19, lembaga anti-sensor non-pemerintah di Inggris, dan Unesco untuk membantu upaya menyempurnakan perundang-undangan pers.
            Komitmen Yunus untuk menciptakan sistem pers merdeka diakui kalangan internasional. Dan memang, di masa Yunus inilah,  atas persetujuan DPR dan  dukungan masyarakat pers dan penyiaran, pemerintah mengeluarkan Undang-undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, 23 September 1999,  yang mencabut UU Pers 1966 dan 1982. Dengan UU baru tersebut sistem lisensi atau izin penerbitan pers dihapus dan Dewan Pers sepenuhnya bebas dari dominasi dan intervensi pemerintah.
Menjelang akhir November 2000, satu stasiun televisi baru pimpinan Surya Paloh, bernama Metro, memulai siaran percobaan, sementara empat stasiun baru lainnya --- Pasaraya, Global, Trans dan Duta ---  direncanakan beroperasi tahun 2001. Mereka menampung banyak tenaga-tenaga pemula, tetapi juga memicu eksodus wartawan berpengalaman baik dari media siaran mau pun penerbitan pers yang ada.

Tumbuhnya media komunikasi dan informasi baru --- Internet --- terjadi tepat saat reformasi digulirkan. Sampai Desember 2000 tercatat lebih 390 situs, sekitar 90 merupakan majalah web, 30 tergolong portal berita atau informasi.

B.   DASAR HUKUM PERS DI INDONESIA
Landasan Hukum Pers di Indonesia yakni :
Ø  Pada UUD 1945
Pasal 28 UUD 1945
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28 F UUD 1945
“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Ø  Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Lebih rincinya lagi terdapat pada Piagam Hak Asasi Manusia, Bab VI, Pasal 20 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut:
1.      (20)setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2.      (21)setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Ø  Undang –Undang No. 39 Tahun 2000 pasal 14 ayat 1 dan 2 tentang Hak Asasi Manusia
1.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2.      setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Ø  . Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 dalam pasal 2 dan pasal 4 ayat 1   tentang Pers
1.      Pasal 2 berbunyi, Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
2.      Pasal 4 ayat 1 berbunyi, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Ø  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1966 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS
Pasal 2.
(1) Pers Nasional adalah alat revolusi dan merupakan mass-media yang bersifat aktif, dinamis kreatif, edukatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan progresip meliputi segala perwujudan kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia.
(2) Pers Nasional berkewajiban:
a. mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen.
b. Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat, berlandaskan Demokrasi Pancasila.
c. memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers.
d. membina persatuan dan kekuatan-kekuatan prograsif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktatur.
e. menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif dan prograsif revolusioner.

Pasal 3.
Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif.

Pasal 4.
Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan.


Pasal 5.
(1) Kebebasan Pers sesuai dengan hak azasi warga negara di jamin.
(2) Kebebasan Pers ini didasarkan atas tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini.


C.   PERANAN PERS DI INDONESIA

Ø  Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.

Ø  Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan.

Ø  Mengembangkan pendapat umum berdasarkan inforamasi tapat, akurat, dan  benar.

Ø  Melakukan pengawasan, kritik koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang  berkaitan dengan kepentingan umum.

Ø  Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


D.   SISTEM PERS DI INDONESIA

1.      Sistem Pers Otoriter
Lahir pada abad ke-15 sampai 16.
Pengertian: Sistem pers dimana sistem yang dikuasai oleh pemerintahan.
Kelebihannya adalah konflik dalam masyarakat cenderung berkurang.
Kekurangannya adalah tertutupnya kesempatan untuk berkreasi.

2.      Sistem Pers Liberal
Lahir pada abad 17 s/d 18.
Fungsi utama: menjaga hak warga negara agar tidak tertindas oleh kesewenangan.
Kelemahannya adalah disalahgunakan dengan cara menayangkan/ menerbitkan.
Kelebihannya adalah kebebasan untuk berinformasi.




3.      Sistem Pers Soviet Komunis
Lahir pada abad ke 20.
Pengertian : sistem pers yang media massa dilarang melakukan kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai.
Kelebihannya adalah pers terkontrol penuh oleh pemerintah.
Kekurangannya adalah pers tidak dapat bergerak secara leluasa.

4.      Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial
Lahir pada abad ke-20.
Pengertian: merupakan suatu teori yang  mempunyai asumsi utama bahwa kebebasan memliki nilai yang sepadan dengan tanggung jawab atas kebebasan tersebut
Kekurangannya adalah terkadang lembaga yang mengontrol pers dijadikan kedok penguasa untuk mengontrol media.
Kelebihannya adalah masyarakat dapat mendapat informasi yang dibutuhkan dan mengontrol media.

5.      Sistem Pers Pancasila
Asumsi utama pers ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan.
Kebebasan pers ini baru di dapat pada era B.J Habibie setelah 32 tahun setelah Orde Baru.

E.   KODE ETIK PERS
KODE ETIK Aliansi Jurnalistik Independent (AJI)
1.      Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.      Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3.      Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4.      Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5.      Jurnalis tidak menyembunyikan informasi yang penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.      Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen
7.      Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
8.      Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9.      Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10.  Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
11.  Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12.  Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
13.  Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14.  Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
Catatan: Yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan fasilitas lainnya, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.
Jurnalis tidak dibiarkan menjiplak.
15.  Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
16.  Jurnalis menghindari setiap campurtangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
17.  Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
KODE ETIK Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman masyarakat. Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan professionalitas wartawan. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan Kode Etik:
1.Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahkan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh Organisasi yang dibentuk untuk itu.

F.     ORGANISASI PERS

Persatuan Wartawan Indonesia

Persatuan Wartawan Indonesia yang biasa disingkat PWI adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Sebagai organisasi profesi, PWI didirikan pada 9 Februari 1946 di Solo. Munculnya PWI diwarnai aspirasi perjuangan para pejuang kemerdekaan, baik mereka yang ada di era 1908, 1928 maupun klimaksnya 1945.

Sebelum lahirnya PWI dibentuk sebuah panitia persiapan pada awal Januari 1946. Sebagai organisasi profesi, PWI menjadi wahana perjuangan bersama para wartawan. Organisasi PWI lahir mendahului SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan PWI juga yang melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946.
Aliansi Jurnalis Independen
AJI adalah organisasi profesi jurnalis, yang didirikan oleh para wartawan muda Indonesia pada 7 Agustus 1994 di Bogor, Jawa Barat, melalui penandatangan suatu deklarasi yang disebut "Deklarasi Sirnagalih".
Organisasi ini didirikan sejak pembredelan tiga media --DeTik, Tempo, Editor pada 21 Juni 1994 dan didirikan sebagai upaya untuk membuat organisasi jurnalis alternatif di luar PWI karena saat itu PWI dianggap menjadi alat kepentingan pemerintah Soeharto dan tidak betul-betul memperjuangkan kepentingan jurnalis.

Sejarah

Sebelum pembredelan

Sekitar tahun 1991, jauh sebelum pembredelan tiga media, terjadi pertemuan informal belasan jurnalis di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, dibicarakan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus ide tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI. Ada juga keinginan untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi aksi konkret.
Di berbagai kota, sebelum berdirinya Aliansi Jurnalis Independen [AJI], sudah ada komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri. Kemudian para aktivis jurnalis dari sejumlah komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi Sirnagalih. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama "aliansi" untuk AJI, dan bukan "persatuan" seperti PWI.
Pembredelan 21 Juni 1994 membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Pembredelan 21 Juni 1994 merupakan shock theraphy, yang menjelma bendera penggalangan solidaritas para jurnalis muda untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam untuk membentuk wadah jurnalis yang independen. Namun, benih-benih lahirnya AJI sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembreidelan tersebut.

Setelah pembredelan

Setelah pembredelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan aksi menolak pembreidelan. Karena pertimbangan prosedural, para jurnalis muda menemui pimpinan PWI Pusat yang diketuai Sofjan Lubis dengan Sekjen Parni Hadi. Mereka meminta PWI Pusat memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembreidelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, para jurnalis muda meminta, agar AJI berusaha bertemu langsung dengan Menteri Penerangan Harmoko. PWI menyanggupi.
Sebulan kemudian, para jurnalis termasuk dari tiga media yang dibredel kembali menemui PWI Pusat untuk menagih janji. Ternyata PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers. Para jurnalis muda lalu menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. PWI dianggap sudah tak efektif lagi memperjuangkan nasib wartawan dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa.

Deklarasi Sirnagalih

Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi pembentukan organisasi jurnalis, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.
Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi dan kabar miring, maka para jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad dan Fikri Djufri diminta tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok harinya, 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu. Deklarasi Sirnagalih ditanda tangani pada 7 Agustus 1994.
Serikat Perusahaan Pers
Lahir di Jogjakarta, 8 Juni 1946, sejak awal Serikat Perusahaan Pers (SPS) merupakan wadah berkumpulnya para penerbit pers (cetak). Mengalami pasang surut dan dinamika seiring kondisi sosial-politik dan ekonomi negeri ini, salah satu momentum terpenting organisasi ini dalam mentransformasikan dirinya menjadi organisasi modern, terjadi tahun 2011, bertepatan dengan Kongres XXIII di Bali, 7 – 9 Juni 2011. Persis saat usianya genap 65 tahun, SPS melakukan rebranding, mengubah logo, dan mentransformasi dirinya menjadi bukan sekadar organisasi penerbit media cetak (suratkabar, tabloid, dan majalah).
Perubahan nama dan logo organisasi dari sebelumnya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) menjadi Serikat Perusahaan Pers (SPS), menjadikan SPS kini sebagai organisasi bagi para penerbit perusahaan pers. Tidak sebatas media cetak, melainkan juga terbuka bagi media non cetak (online dan penyiaran). Perubahan ini antara lain juga akibat dorongan dinamika yang terjadi pada bisnis industri media secara global, yang mengasumsikan kini dan masa datang bisnis pers mengarah pada bentuk baru sebagai bisnis informasi. Apapun platform medianya, konten atau informasi itulah yang menjadi “ruh” dan produk untuk dipasarkan.
Kini, pasca Kongres XXIII di Bali, SPS dipimpin oleh Ketua Umum Dahlan Iskan dan Jakob Oetama sebagai Ketua Dewan Pertimbangan. Sementara di jajaran Pengurus Harian dipimpin M Ridlo ‘Eisy sebagai Ketua Harian. Hingga Desember 2014, SPS memiliki 471 anggota yang tersebar di 29 cabang seluruh Indonesia. Kontribusi anggota SPS terhadap advertising expenditure seluruh media cetak tahun 2014 yang sebesar Rp 36,164 triliun (on gross), diperkirakan mencapai Rp 31,1 triliun. Ditilik dari penetrasi pasar per Desember 2013, dari tiras beredar seluruh media cetak yang mencapai 22,3 juta eksemplar, anggota SPS menyumbang sebesar 19 juta eksemplar.
Kini di akhir masa kepengurusan 2011 – 2015 dan menjelang kepengurusan baru 2011 - 2015, SPS kembali menegaskan visi – misinya untuk selalu Menegakkan Kemerdekaan Pers dan Membangun Industri Pers yang Sehat dan Bermartabat. Itu semua terangkai dalam berbagai program kerja yang bersendikan pada bidang-bidang Pendidikan, Kampanye, Advokasi, dan Konsolidasi Organisasi.



G.  DAMPAK PERS

Dampak positif kebebasan pers/ beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya kebebasan pers yaitu:
1.       Pers menjadi penyalur aspirasi rakyat;
2.        Pers bebas mencari/mendapatkan kebenaran, sehingga dapat mewujudkan keadilan;
3.        Pers menjadi kontrol sosial yang bebas memberikan kritik, saran dan pengawasan;
4.       Pers menjadi penyebar informasi yang dapat memenuhi hak masyarakat;
5.        Pers menjadi wahana komunikasi massa;
6.        Pers menjadi penghubung antar sesama manusia;
7.        Pers menjadi pendidik karena bebas menyebarkan IPTEK;
8.        Pers menjadi pemberi hiburan kepada masyarakat.

Dampak negatif dari penyalahgunaan kebebasan media massa dapat dibedakan secara intern dan ekstern, yaitu :

1. Secara intern
A.    Pers tidak obyektif, menyampaikan berita bohong, lambat atau cepat akan ditinggal pembacanya,
B.     Ketidaksiapan masyarakat untuk menggunakan hak jawab akan menimbulkan kejengkelan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, akan melakukakan tindakan yang anarkhis dengan merusak kantor, bahkan tindakan fisik terhadap wartawan yang memberitakan.

2.Secara ekstern
A.     Mempercepat kerusakan akhlak dan moral bangsa,
B.     Menimbulkan ketegangan dalam masyarakat,
C.     Menimbulkan sikap antipati dan kejengkelan terhadap pers,
D.    Menimbulkan sikap saling curiga dan perpecahan dalam masyarakat,
E.     Mempersulit diadakannya islah / merukunkan kembali kelompok masyarakat yang sedang konflik.












H.  TEORI PERS

  1. Teori Pers Otoritan
Muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang–orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasanya menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan dan juga dalam menyampaikan kebenaran objektif kepada masyarakat. Praktek – praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh sebagian besar Negara komunis.
  1. Teori Pers Liberitarian

Teori ini lahir pada saat tumbuhnya demokrasi politik dan paham kebebasan berkembang pada abad ke-17, sebagai akibat revolusi industri dan digunakannya sistem ekonomi laissez-faire. Kemerdekaan koloni–koloni di Amerika dan Revolusi Perancis(1789) dengan semboyan liberty, egality, fraternity ikut serta mengembangkan pers libertarian. Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran. Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers. Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis.
  1. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)

Teori ini berkembang sebagai akibat kesadaran pada abad ke-20, dengan berbagai macam perkembangan media massa(khususnya media elektronik), menuntut kepada media massa untuk memiliki suatu tanggung jawab social yang baru. Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan pers mutlak,banyak mendorong terjadinya dekadensi moral. Oleh karena itu, teori ini memandang perlu adanya pers dan system jurnalistik yang menggunakan dasar moral dan etika. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menja-
lankan fungsi komunikasi massa.Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggungjawab social sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :
Ø Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Ø Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.
Ø Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah.
Ø Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,
Ø Menyediakan hiburan
Ø Mengusahakan sendiri biaya financial, sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan.
  1. Teori Pers Totalitarian (Soviet Komunis)

Teori ini berpegang pada asas kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis. Dimana “Partai Komunis” tersebut dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan pemahaman itu pers harus mengikuti kebenaran rakyat, yaitu partai yang substansinya adalah pemerintah.
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat, sehingga yang berhak menggunakan media pers hanya orang-orang yang setia pada penguasa dan anggota yang ortodok.
Tugas pokok pers dalam system pers komunis adalah menyokong, menyukseskan, dan menjaga kontinuitas system social Soviet atau pemerintah partai. Dan fungsi pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada masyarakat agar terbebas dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat menjauhkan masyarakat dari cita-cita partai.
Antara teori totalitarian dengan teori otoritarian sama-sama menggunakan kata kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai. Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada kepentingan rakyat (manifestasi kehendak rakyat).





































BAB III PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
A.    Bahwa pers sangat berperan aktif dalam kehidupan kita. Apalagi bagi kemajuan serta kemerdekaan bangsa kita. Dikala itu, para pers atau wartawan sangat berjuang agar dapat menyebarluaskan berita mengenai kemerdekaan RI.
B.     Bahwa perjuangan pers dalam mendapatkan kebebasan dalam berpendapat tidaklah mudah. Mereka harus berjuang keras melawan para penjajah dan bahkan pemerintah sendiri. Hingga akhirnya presiden Habibie dan peresiden Abdur Rahman Wahid membantu dan memberakan hak untuk bmengungkapkan pendapat.

C.     Pers memiliki organisasi yang mungkin kita sendiri atau orang awam tidak ketahui. Namun dengan adanya makalh ini, kita dapat lebih tahu organisasi yang didirikan pleh pers serta kapan pendiriannya dan ketuanya.

D.    Perss memiliki dampak negatif dan positif bagi kehidupan kita.


























B.     DAFTAR PUSTAKA

                ((http://fungsi-pers.blogspot.com/)
           

(Sumber : pezat51newscommunity.blogspot.com)
                                http://id.wikipedia.org/wiki/Persatuan_Wartawan_Indonesia
                        (http://id.wikipedia.org/wiki/Aliansi_Jurnalis_Independen)
                        (http://aji.or.id/read/pengurus.html)
                        (http://id.spsindonesia.org/profile/132816ewbz90g5099/tentang-kami)
                        (http://id.spsindonesia.org/profile/1ca7jxxbz90h1479/susunan-pengurus)
                        http://pwi.or.id/index.php/sejarah
             setiadi, RetnoListyati.PKN untuk SMK XII.Erlangga.Jakarta.